NEWS.BUSURNABIRE.ID –Nabire | Suasana politik dan keamanan di Kabupaten Intan Jaya kembali menjadi sorotan publik. Senin, 15 September 2025, Forum Komunikasi Mahasiswa/I Kabupaten Intan Jaya (FKMI) Kota Studi Nabire menyampaikan pernyataan sikap tegas terkait keberadaan TNI non organik di wilayah Intan Jaya yang dinilai menambah penderitaan masyarakat sipil.
Aksi ini dipimpin oleh Daud Tigau, salah satu pengurus FKMI Kota Studi Nabire, yang menegaskan bahwa keberadaan TNI non organik sejak tahun 2019 hingga 2025 telah menimbulkan banyak korban jiwa, pengungsian massal, serta pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adat.

Dalam pernyataannya, FKMI menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang wajib menjamin hak hidup, rasa aman, dan perlindungan warganya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, di antaranya:
- Pasal 28A: Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
- Pasal 28 ayat (1): Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dari ancaman ketakutan.
- Pasal 28I ayat (1): Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, dan hak-hak mendasar lainnya adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
- Pasal 28I ayat (4): Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara.
“Berdasarkan konstitusi, kehadiran negara, termasuk TNI-Polri, seharusnya melindungi, mengayomi, dan menghormati hak-hak masyarakat. Namun faktanya, sejak 2019 kehadiran TNI non organik justru memperburuk keadaan di Intan Jaya,” tegas Daud Tigau.

FKMI menyoroti bahwa penempatan pos-pos TNI non organik di Intan Jaya telah menggunakan sekolah, gereja, kantor pemerintahan, hingga rumah-rumah warga sipil tanpa izin dari pemilik ulayat.
Contoh terbaru terjadi pada 11 September 2025 sekitar pukul 04.30 WIT, ketika ratusan personel TNI non organik masuk ke Kampung Jalai, Distrik Sugapa. Mereka menempati Gereja St. Fransiskus Jalai dan SD YPPK Jalai sebagai tempat penampungan.
“Guru-guru dan pastor tidak pernah memberikan izin, tetapi fasilitas itu tetap dipakai. Bahkan pada 14 September, mereka membangun pos TNI baru di lokasi Sujagae, Kampung Jalai. Akibatnya, masyarakat terpaksa mengungsi ke kampung lain,” ungkap perwakilan FKMI.
FKMI mencatat bahwa sejak 2019 hingga 2025, pos-pos TNI non organik dibangun hampir di seluruh distrik Intan Jaya seperti Sugapa, Hitadipa, Homeyo, Mamba, Eknemba, Pogapa, Mbamogo, hingga Saneopa.
Pembangunan pos TNI non organik disebut memicu gelombang pengungsian masyarakat sipil dari kampung-kampung seperti Abundoga, Tipunggau, Jibugae, dan Jalai. Warga terpaksa mencari perlindungan ke wilayah ibu kota distrik seperti Sugapa Mamba, Yokatapa, dan Bilogai.
“Sejak 2019, operasi militer di Intan Jaya membuat banyak warga hidup dalam ketakutan. Hak masyarakat untuk hidup damai justru semakin sulit diwujudkan,” tambah Daud.
Dalam konferensi pers di Nabire, FKMI Kota Studi Nabire menyampaikan lima poin sikap resmi:
- Meminta kepada Panglima TNI di Jakarta dan Pangdam XVII/Cenderawasih di Jayapura agar segera menghentikan operasi militer dan menarik seluruh TNI non organik dari Intan Jaya.
- Menolak pembangunan pos-pos TNI baru di delapan distrik Intan Jaya. FKMI menegaskan cukup ada pos di ibu kota Sugapa.
- Mendesak Pemerintah Kabupaten Intan Jaya dan Pemerintah Provinsi Papua Tengah untuk segera memulangkan masyarakat sipil yang saat ini masih mengungsi.
- Menuntut DPRD Intan Jaya dan DPR Papua Tengah segera membentuk Panitia Khusus (Pansus) Kemanusiaan untuk menginvestigasi situasi lapangan.
- Menolak rencana pembangunan pos militer di Distrik Hitadipa yang berada di atas tanah misi Gereja GKII tanpa persetujuan gereja dan masyarakat adat.
FKMI juga menilai bahwa pemerintah daerah maupun provinsi tidak boleh tinggal diam menghadapi situasi ini. Mahasiswa menuntut agar ada keberpihakan nyata kepada masyarakat sipil yang menjadi korban konflik bersenjata.

“Pemerintah jangan menutup mata. Situasi Intan Jaya adalah soal kemanusiaan. Mahasiswa Intan Jaya yang studi di Nabire tidak akan berhenti menyuarakan penderitaan rakyat,” tegas FKMI dalam pernyataan resminya.
FKMI menegaskan bahwa perjuangan ini bukan sekadar protes, tetapi panggilan moral untuk menyelamatkan masyarakat adat Intan Jaya dari dampak buruk operasi militer.
“Kami tidak menolak negara, tetapi kami menolak cara-cara militeristik yang justru menghancurkan kehidupan masyarakat adat. Kami hanya ingin kedamaian, pendidikan yang layak, dan ruang hidup yang aman bagi rakyat Intan Jaya,” tutup Daud Tigau.