Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) Bupati Nabire Perbaikan DPT Dianggap Gagal oleh KPU
Busurnabire.id _ Di kutip dari Website Mahkamah konstitusi Republik Indonesia sumber https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=17483
Jakarta–Busurnabire.id.- Sidang pemeriksaan pendahuluan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) Bupati Nabire digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (23/8/2021) siang. Permohonan PHP Bupati Nabire ini diajukan oleh dua pasangan calon (paslon) berbeda. Perkara Nomor 149/PHP.BUP-XIX/2021 diajukan oleh Paslon Nomor Urut 3 Fransiscus Xaverius dan Tabroni bin M. Cahya. Sedangkan Perkara Nomor 150/PHP.BUP-XIX/2021 diajukan oleh Paslon Nomor Urut 1 Yufinia Mote dan Muhammad Darwis.
Paslon Fransiscus Xaverius dan Tabroni bin M. Cahya melalui tim kuasa hukumnya menyampaikan keberatan terhadap Keputusan KPU Kabupaten Nabire Nomor 223 bertanggal 3 Agustus 2021. Berdasarkan Penetapan KPU Kabupaten Nabire terhadap rekapitulasi perolehan suara masing-masing pasangan calon dari hasil pemungutan suara ulang Pilkada Nabire Tahun 2020 adalah: paslon nomor urut 1 meraih 18.184 suara, paslon nomor urut 2 meraih 25.259 suara, paslon nomor urut 3 memperoleh 16.135 suara sehingga total suara sah adalah 59.578 suara. Kemudian selisih suara antara Pemohon dengan peraih suara terbanyak dalam pilkada adalah 9.124 suara.
DPT Bermasalah
Menurut pasangan Fransiscus Xaverius dan Tabroni bin M. Cahya, hasil penghitungan suara pemungutan suara ulang tersebut tidak dilaksanakan sebagaimana Putusan MK Nomor 84/PHP.BUP-XIX/2021. Dalam putusan ini, MK memerintahkan pemungutan suara ulang dengan mendasarkan pada Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang telah diperbaiki dan menggunakan sistem pencoblosan langsung.
“Kegagalan Termohon diawali dengan kegagalan memperbaiki DPT Kabupaten Nabire dan didasarkan pada DPT yang tidak valid dan tidak logis. Termohon telah salah menghapuskan sebanyak 23.574 pemilih dari Daftar Pemilih Sementara menuju Daftar Pemilih Tetap. Karena dalam Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan diketahui pemilih berjumlah 115.877 orang yakni penduduk berusia 17 tahun ke atas, bukan TNI, bukan Polri dan penduduk sudah pernah menikah,” kata kuasa Pemohon, Eduard Nababan kepada Panel Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan didampingi dua anggota panel yaitu Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh.
Eduard Nababan menerangkan, setelah menetapkan Daftar Pemilih Sementara (DPS) yang didasarkan pada Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan (DP4) dan data pemilu sebelumnya, seharusnya Termohon terlebih dahulu melakuan pencocokan dan penelitian (coklit). Setelah hasil coklit dimutakhirkan dengan DPS baru, Termohon dapat menetapkan DPT yang benar. Tidak digunakannya hasil coklit tersebut akhirnya menyebabkan jumlah DPT yang tidak sesuai dengan sistem demografi Indonesia. Penduduk berumur 17 tahun ke atas itu berkisar 65% hingga 75% dari keseluruhan penduduk sebagai keterangan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil pada Putusan MK No. 84/PHP.BUP-XIX/2021.
Dengan jumlah penduduk Kabupaten Nabire sebanyak 172.190 orang, maka jumlah DPT yang ditetapkan Termohon sebanyak 85.983 pemilih hanya 49% dari jumlah penduduk Kabupaten Nabire. Artinya, jumlah DPT yang ditetapkan oleh Termohon, 16 persen lebih sedikit daripada yang seharusnya. Hal ini menurut pasangan Fransiscus Xaverius dan Tabroni bin M. Cahya, tidak dapat diterima akal sehat.
PSU Melanggar Peraturan
Sementara itu, paslon Yufinia Mote dan Muhammad Darwis melalui kuasa hukum Heru Widodo mengatakan, meskipun selisih perolehan suara Pemohon (paslon nomor urut 1) dengan peraih suara terbanyak (paslon nomor urut 2) sebesar 70. 075 suara, namun perolehan suara tersebut diraih paslon nomor urut 2 dari proses Pemungutan Suara Ulang (PSU) yang melangar peraturan perundang-undangan.
Heru menerangkan, Pemohon mendalilkan ada tiga pokok persoalan yang dianggap Pemohon sebagai pelanggaran dalam pemungutan suara ulang Pilkada Nabire. Pelanggaran pertama yang mendasar adalah tindakan Termohon yang memperbolehkan pemilih mencoblos menggunakan e-KTP sehingga menyebabkan penambahan jumlah pemilih dalam DPT. Pelanggaran mendasar yang kedua menurut Pemohon, terjadi pemilihan lebih dari satu kali di TPS yang sama dan atau di TPS yang berbeda oleh pemilih dalam DPT yang memilih lagi untuk kedua kalinya dengan menggunakan e-KTP.
Sedangkan pelanggaran mendasar yang ketiga, lanjut Heru, dilakukan oleh Termohon dan jajarannya di tingkat penyelenggara di berbagai TPS. Di antaranya ada permintaan Ketua PPS kepada Ketua KPPS untuk mengakomodir sisa surat suara kepada salah satu pasangan calon tertentu.
Pentingnya Bukti
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam nasihatnya menyatakan, bukti menjadi sangat penting dalam sengketa pilkada yang diwarnai kasus konkret. “Tolong sepanjang perkara ini disidangkan agar melengkapi bukti. Pada intinya para Pemohon kedua perkara mempersoalkan DPT yang tidak valid. Jadi tolong agar menyempurnakan bukti-buktinya,” kata Enny menasihati.
Kemudian Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menasihati terkait pengajuan permohonan inzage dari Pemohon sebaiknya dilakukan pada pagi hari, mengingat kondisi Jakarta masih dalam PPKM Darurat. “Karena kami juga ada pembatasan jadwal pegawai. Supaya bapak/ibu mengajukan permohonan tidak pada sore hari. Ini akan menyulitkan petugas,” kata Daniel.
Sidang pemeriksaan pendahuluan untuk dua perkara ini pun berakhir. Ketua Panel Hakim Konstitusi Suhartoyo menginformasikan kepada para pihak ihwal persidangan berikutnya. “Persidangan akan dilanjutkan pada Senin 30 Agustus 2021 untuk sidang Jawaban Termohon, Keterangan Pihak Terkait, Keterangan Bawaslu dan pengesahan alat bukti untuk Perkara 149 dan 150,” pungkas Suhartoyo.
sumber https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=17483